Selasa, 02 September 2014

KARNAVAL BREBES HUT RI KE-69

Pawai karnaval meriahkan HUT RI Ke-69 Tahun 2014 

pawai karnaval HUT RI ke-69 tahun 2014 di lhokseumawe
Dalam rangka memeriahkan peringatan HUT RI Ke-69 Tahun 2014, Pemerintah kota (Pemko) Lhokseumawe, hari Senin tanggal 18-Agustus-2014 menggelar Pawai Karnaval dan berlangsung sangat meriah.
Pawai Karnaval tersebut diikuti oleh ribuan peserta dari berbagai jenjang pendidikan yang ada di Kota Lhokseumawe. Acara pelepasan peserta Pawai Karnaval dilepas langsung oleh Walikota Lhokseumawe, Suaidi yahya, di lapangan hira Kota Lhokseumawe.
Pada even Pawai Karnaval tahunan peringatan HUT RI kali ini di Kota Lhokseumawe juga ikut diramaikan dengan keikutsertaan dari Koramil yang ada di wilayah Kota Lhokseumawe yang menggunakan kendaraan sepeda motor serta mobil hias.

Selasa, 05 Agustus 2014

Jembatan ‘Jebol’ Jalur Pantura Brebes Macet Total

LENSAINDONESIA.COM: Jembatan sungai Pemali di Jalur utama Pantura Brebes, Jawa Tengah, kondisinya saat ini semakin kritis akibat kerusakan yang terjadi bertahun-tahun. Bahkan, badan jalan jembatan kembali jebol sehingga tidak bisa dilalui kendaraan besar.
Dengan kondisi yang tak memungkinan ini sejumlah kendaraan berat dialihkan melalui jembatan disebelahnya, sehingga menyebabkan penumpukan kendaraan dan antrian panjang dari dua arah. Kerusakan jembatan pemali yang berkepanjangan, terjadi akibat salah konstruksi sehingga badan jembatan tidak mampu menahan beban kendaraan berat.
Beginilah kondisi jembatan sungai pemali di jalur utama pantura Kabupaten Brebes, Jawa tengah. Badan jembatan yang terbuat dari plat baja jebol hingga menimbulkan lubang menganga ditengah jembatan.
Jembatan ini sudah sekitar tiga tahun mengalami kerusakan dan beberapa kali telah dilakukan perbaikan penambalan plat baja, namun beberapa kali pula kembali jebol. Karena kondisinya cukup kritis, jembatan yang menghubungi kota jakarta hingga surabaya hanya bisa dilalui kendaraan roda dua dan mobil pribadi saja.
Sedangkan kendaraan besar harus dialihkan melalui jembatan satunya yang berada disisi selatan. Akibatnya, terjadi antrian cukup panjang, baik dari arah semarang maupun dari arah Jakarta. Bahkan pada jam-jam sibuk, kemacetan ini mencapai belasan kilometer.
Bupati Brebes, Hj. Idza Priyanti, SE, ditemui saat tengah meninjau lokasi mengatakan, akibat kerusakan jembatan kali pemali ini masyarakat Brebes dan para pengguna jalan telah dirugikan milyaran rupiah.
“Baik jika ditinjau dari segi perekonomian yang terganggu hingga kecelakaan lalulintas yang kerap kali banyak merenggut korban jiwa. Dirinya sudah mengirimkan surat agar Pemerintah Pusat segera mengeluarkan izin atau merekomendasikan agar secepatnya Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Propinsi segera memperbaiki jembatan tersebut,” paparnya saat dikonfirmasi LICOM, Selasa (19/3).
Sementara itu, Sumardjono, Petugas Bina Marga Jawa Tengah mengakui adanya kesalahan konstruksi pada jembatan pemali, sehingga badan jembatan tidak mampu menahan beban kendaraan berat. Apalagi volume kendaraan di Jalur Pantura Brebes sangat padat, dengan beban yang melebihi tonase. Penggunaan plat baja untuk badan jembatan merupakan langkah terobosan sebagai pengganti beton dan aspal.
Bina marga akan melakukan rekonstruksi total jembatan sungai Pemali karena jembatan yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Pembuatan jembatan varu akan dilakukan pada bulan april dengan target penyelesaian bulan jully. Sehingga saat arus mudik lebaran 2013 mendatang, jembatan sudah bisa digunakan.
Warga berharap perbaikan jembatan sungai pemali dilakukan dengan perencanaan yang matang agar tidak cepat mengalami kerusakan kembali. Sebab hampir setiap hari selalu saja terjadi kemacetan dijalur utama pantura Brebes, akibat kerusakan jembatan sungai pemali ini.@boy
Banyaknya pondok pesantren (ponpes) dan warga Brebes yang menjadi Santri diberbagai ponpes mengilhami KH Rosyidi Malawi membangun Perpustakaan Kitab Kuning.
Kiai Kharismatis Jatibarang Brebes ini memulainya dengan membangun perpustakaan pribadi. Di rasa sudah memiliki kitab yang banyak maka dia memprakarsai pembangunan perpustakaan Kitab Kuning di area Masjid Jami Al Ittihad Jatibarang Brebes.
“Sudah ada 2000 judul kitab kuning yang dimiliki Kiai Rosyidi dan disumbangkan ke perpustakaan,” tutur Pembina Yayasan Al Ittihaad Jatibarang Brebes H Rais Kodim, saat peresmian Gedung Serba Guna dan Perpustakaan Lintang Masjid Al Ittihaad Jatibarang Brebes, Jumat Sore (18/7/14).
Awalnya, perpustakaan sudah dirintis Kiai Rosyidi sejak tahun 1997 sebagai perpustakaan pribadi di masjid Baitussaadah dimana beliau Rosyidi menjadi pengasuh majelis taklim di masjid tersebut.
Pembangunan gedung serba guna dan perpustakaan, lanjutnya, dibangun diatas tanah seluas 300 meter persegi wakaf dari Surip bin H Maksudi. Gedung dua lantai itu, lantai bawah digunakan untuk pertemuan umum sedangkan lantai atas digunakan untuk perpustakaan, ruang radio komunitas, dan ruang kesenian islam.
Direncanakan, anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung tersebut sebesar Rp 2,09 Milyar, namun baru menelan dana sebesar Rp 1,4 Milyar. “Kami belum bisa mendapatkan dana sebesar itu untuk pembelian almari, kursi, sound system dan perabotan lainnya,” kata H Rais.
Pembangunan gedung dan perpustakan ditopang sepenuhnya dari dana umat Islam keliling memakai kaleng setiap hari Jumat di Pasar Jatibarang dan Warga Jatibarang. “Kami merasa bersyukur, karena dari sebuah kaleng berubah menjadi kaleng besar berupa Gedung Serbaguna dan Perpustakaan,” ungkapnya.
Dia berharap, pemerintah Kabupaten Brebes bisa memberi dukungan dana untuk penyelesaian lebih lanjut. Sehingga gedung benar-benar menjadi representatif. “Kami sangat berbahagia bila Pemkab bisa memberi dukungan anggaran Rp 500 juta,” harapnya.
Peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Bupati Brebes Hj Idza Priyanti SE dan KH Rosyidi Malawi.
Bupati dalam sambutannya sangat berterima kasih atas jerih payah yang dilakukan oleh masyarakat Jatibarang dan sekitarnya. Sehingga mampu membangun gedung dan perpustakaan yang sangat megah. Mudah-mudahan bisa membawa manfaat besar bagi warga Brebes khususnya.
“Soal bantuan dari pemkab Brebes untuk kelanjutan pembangunan perpustakaan Kitab Kuning, akan saya rundingkan dengan pihak Dewan,” jajni Idza .
Peresmian penggunaan gedung serba guna dan perpustakaan Al Ittihaad dilanjutkan dengan buka puasa bersama dan sholat maghrib berjamaah. Tampak hadir Para Kepala Bagian dilingkungan setda Brebes,pengurus yayasan Al Ittihaad, alim ulama setempat, dan juga warga keturunan Thionghoa Jatibarang. (ILMIE)

Brebes Peringkat 7 Pertumbuhan Ekonomi Se-Jateng


Selasa, 15 Juli 2014

Daftar Bupati Brebes

Bupati Brebes.
No Foto Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan Keterangan / Refrensentatif
1. - Tumenggung Arya Suralaya 1678 1683  
2. - Tumenggung Pusponegoro I ---- ----  
3. - Tumenggung Pusponegoro II 1683 1809  
4. - Tumenggung Pusponegoro III ---- ----  
5. Bupati Brebes ke-5.jpg Kanjeng Adipati Ariya Singasari Panatayuda I (Sura) 1809 1836  
6. - Kanjeng Adipati Ariya Singasari Panatayuda II (Karta) 1836 1856  
7. - Kanjeng Adipati Ariya Singasari Panatayuda III (Sarya) 1856 1876  
8. - Raden Tumenggung Cakra Atmaja 1876 1880  
9. - Raden Mas Adipati Ariya Cakranegara I 1880 1885  
10. - Raden Mas Tumenggung Sumitra, kemudian berganti nama
menjadi Raden Mas Adipati Ariya Cakranegara II
1885 1907  
11. - Raden Mas Martanam (Sawergi III) 1907 1929  
12. Bupati Brebes ke-13.jpg Kanjeng Raden Tumengung Mas Ariya Purnama Hadiningrat 1920 1929  
13. Bupati Brebes ke-12.jpg Raden Sajikun 1929 1929  (hanya 8 bulan)
14. Bupati Brebes ke-14.jpg Raden Adipati Ariya Sutirta Pringga Haditirta 1931 1942  
15. - Raden Sunarya 1942 1945  
16. Bupati Brebes ke-16.jpg Sarimin Reksadiharja 1945 1946  
17. Bupati Brebes ke-17.jpg K.H. Syatori 1946 1947  
18. - Raden Awal 1947 1947  
19. Bupati Brebes ke-19.jpg Agus Miftah 1947 1948  
20. - Raden Sumarna 1948 1950  
21. Bupati Brebes ke-21.jpg Mas Slamet 1950 1956  
22. Bupati Brebes ke-22.jpg Raden Mardjaban 1956 1966  
23. Bupati Brebes ke-23.jpg Raden Haji Sartono Gondosoewandito, S.H. 1967 1979  
24. Bupati Brebes ke-24.jpg H. Syafrul Supardi (Kolonel) 1979 1989  
25. Bupati Brebes ke-25.jpg H. Hardono (Kol. CZI) 1989 1994  
26. Bupati Brebes ke-26.jpg H. Syamsudin Sagiman 1994 1999  
27. Bupati Brebes ke-27.jpg H. Mohammad Tadjudin Noor Aly 1999 2001  
28. Wabub tri h ke-28.jpg Drs. H. Tri Harjono (PLTH) Mei 2001 Juli 2002  
29. Bupati Brebes ke-29.jpg H. Indra Kusuma, S.Sos. Juli 2002 Agustus 2010  
30. Bupati Brebes ke-30.jpg H. Agung Widiyantoro, S.H., M.Si. 10 Mei 2011 4 Desember 2012  
31. Idza Priyanti.jpg Hj. Idza Priyanti, A.Md., S.E. 4 Desember 2012 Petahana  masih Menjabat

Jumat, 27 Juni 2014

Sejarah Telur Asin Brebes, Makanan Eksklusif `Orang Jakarta`

  • Peristiwa
  • 0
  • 07 Agu 2013 01:22
Kota Brebes, bila melewatinya dalam perjalanan mudik, disarankan untuk membeli telur asin di sana. Sebab, selain merupakan makanan khas kota itu, telur asin di Brebes juga punya memiliki sejarah.

Konon, telur asin itu pertama kali diperkenalkan suami istri asal negeri bambu, China, In Tjiauw Seng dan Tan Polan Nio sekitar 1950. Pada awalnya telur asin menjadi makanan yang eksklusif, karena pasangan suami istri itu memasarkan telur asin ke Jakarta. Mereka memproduksi secara terbatas dan menjadikan telur asin yang gurih dan lezat dikemas sebagai salah satu hidangan istimewa.

"Menjamurnya telur asin di Brebes terjadi setelah pegawai suami istri tersebut berhenti kerja dan memulai usahanya sendiri," kata Agus Rianto, penjaga gerai Telor Asin Brebes Akbar Jaya kepada Liputan6.com, di Jalan Bangsri, Brebes, Jawa Tengah, Selasa (6/8/2013).

Selain sejarah singkat tentang telur asin, Agus juga menceritakan sedikit proses pembuatan makanan tersebut. Pertama-tama, telur yang akan diasinkan haruslah telur pangon. "Telornya itu telor bebek yang pangon. Pangon itu artinya alami, jadi bukan telur bebek ternakan tapi bebek liar," ujarnya.

Kemudian, telur bebek pangon itu dicuci lebih dulu dan dipisah antara yang retak dan yang tidak retak. "Baru diasinkan dengan cara direbus. Untuk proses perebusan ini memakan waktu 12-15 hari," papar Agus.

Selain diasinkan dengan cara direbus, telur asin juga dapat disajikan setelah dibakar asap atau diasapi. Agus mengaku banyak pelanggan yang lebih gemar membeli telur asin yang diasapi. Waktu pengasapan pun 3 sampai 4 jam. Setelah diasapi, maka telur asin yang biasanya berwarna hijau akan berubah menjadi warna hitam.

"Yang bakar itu lebih kenyal karena kadar air di dalam telur sudah berkurang," ungkap Agus.

Untuk 1 butir telur asin rebus, Agus menjualnya dengan harga Rp 3.500. Untuk telur asin bakar, harga yang harus dikeluarkan pembeli sebesar Rp 3.800. Tertarik membeli kuliner khas Brebes ini? (Ein) (Ein
- See more at: http://news.liputan6.com/read/660006/sejarah-telur-asin-brebes-makanan-eksklusif-orang-jakarta#sthash.fXjVYZqW.dpuf

Sabtu, 07 Juni 2014

Masjid Agung Brebes


Bupati Dan Wakil Bupati Kota Brebes


Batas Wilayah Kota Brebes


Enggon geografis : 108° 41'37,7" - 109° 11'28,92" Bujur wetan karo 6° 44'56'5" - 7° 20'51,48" Lintang kidul.
Bates Wilayah : Sisi lor berbatesan karo laut Jawa, sisi kidul berbatesan karo Kabupaten Banyumas, sisi kulon berbatesan karoKabupaten Cirebon (Jawa Kulon), sisi wetan karo Kabupaten Tegal lan Kota TegalBasa sing dituturna penduduk kabupatenkiye yakuwe basa Banyumasan logat/dialek Tegalan karo basa Sunda khususe sing ana ning kecamatan Bantarkawung, Salem karo Banjarharjo, basa Sundane mirip Basa Sundane wong Banten.

Kamis, 05 Juni 2014

Kesenian Tari Topeng Sinok


Tari Topeng Sinok adalah salah satu seni tari khas asal Brebes yang diciptakan oleh Suparyanto dari Dewan Kesenian Kabupaten Brebes yang menggambarkan perempuan yang cantik, luwes dan treingginas.


Tari Topeng Sinok Brebes.jpg

Tarian Topeng Sinok, menceritakan tentang perempuan Brebes, yang pada umumnya mereka merupakan adalah wanita pekerja keras. Kecantikan, keluwesan, dan kenggunannya tak mengurangi kecintaan mereka pada alam dan pekerjaannya sebagai petani. Tari yang merupakan paduan bentuk seni CirebonBanyumas dan Surakarta tersebut, seolah hendak mengatakan bahwa perempuan daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini bukanlah pribadi yang manja, cengeng, dan malas.
Topeng Sinok ini diproyeksikan untuk menjadi tarian khas yang nantinya akan dipromosikan dan diajarkan ke sekolah-sekolah dan dijadikan pelajaran muatan lokal di Kabupaten Brebes.

Selasa, 03 Juni 2014

Perekonomia di desa Kec. wanasari


Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai Petani, buruh tani, Nelayan, peternak itik / bebek, Pedagang sektor jasa transportasi , serta Pegawai Negri.
Produk unggulan dari pertanian adalah Bawang merahyang memasok kebutuhan daerah maupun nasional, dan mempunyai pasar khusus bawang merah di desa Klampok.
Dibagian utara tepatnya di pesisir Pantai, terdapat sentra budidaya ikan tambak seperti Bandeng udang, teri, mujair dan lainnya. Disekitar daerah pantai saat ini juga berkembang budidaya penanaman Rumput Laut
Kecamatan Wanasari juga merupakan sentra ternak bebek / itik yang menghasilkan produksi telur yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan telur asin khas Brebes yang sudah dikenal secara nasional
Pusat penjualan Telut Asin asli khas Brebes serta makanan khas lainnya yang menjadi tempat yang paling banyak dituju, terutama bagi para pengendara bermotor yang melintasi jalur pantura dapat ditemukan di kios-kios desa Pebatan dan Pesantunan di sepanjang Jalan P. Diponegoro ,yang terletak di sebelah barat sungai Pemali, tidak jauh dari pusat kota Brebes.
Pusat perekonomiannya terdapat di sepanjang jalur Pantura yang membentang dari jalan raya Klampok hingga sebagian jalan P. Diponegoro sebelah barat jembatan Sungai Pemali sebelum masuk kota Brebes. Di kawasan ini terdapat aktivitas warga seperti pasar, pertokoan, rumah sakit, SPBU,perbengkelan serta showroom motor.

Sejarah Nama Brebes


Ada beberapa pendapat mengenai asal - usul nama Brebes yang di antaranya berasal dari kata di antaranya Brebes berasal dari kata "Bara" dan "Basah", bara berarti hamparan tanah luas dan basah berarti banyak mengandung air. Keduanya cocok dengan keadaan daerah Brebes yang merupakan dataran luas yang berair.Karena perkataan bara di ucapkan bere sedangkan basah di ucapkan besah maka untuk mudahnya di ucapkan Brebes. Dalam Bahasa Jawa perkataan Brebes ataumrebes berarti tansah metu banyune yang berarti selalu keluar airnya.
Nama Brebes muncul sejak zaman Mataram.Kota ini berderet dengan kota-kota tepi pantai lainnya seperti Pekalongan, Pemalang, dan TegalBrebes pada saat itu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tegal.
Pada tanggal 17 Januari 1678 di Jepara diadakan pertemuan Adipati Kerajaan Mataram se Jawa Tengah, termasuk Arya Martalaya, Adipati Tegal dan Arya Martapura, Adipati Jepara. Karena tidak setuju dengan acara penandatanganan naskah kerjasama antara Amangkurat Admiral dengan Belanda terutama dalam menumpas pemberontakan Trunajaya dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan  Mataram,
maka terjadi perang tanding antara kedua adipati tersebut. Peristiwa berdarah ini merupakan awal mula terjadinya Kabupaten Brebes dengan Bupati berwenang .Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut yaitu tanggal 18 Januari 1678, Sri Amangkurat II yang berada di Jepara mengangkat beberapa Adipati/ Bupati sebagai pengagganti Adipati-adipati yang gugur. Untuk kabupaten Brebes di jadikan kabupaten mandiri dengan adipati Arya Suralayayang merupakan adik dari Arya Martalaya. Pengangkatan Arya Suralaya sekaligus titimangsa pemecahan Kadipaten Tegal menjadi dua bagian yaitu Timur tetap di sebut Kadipaten Tegal dan bagian barat di sebut Kabupaten Brebes.

Senin, 02 Juni 2014

Kerajinan Batik Salem


Salah satu kerajinan khas dari Brebes adalah batik salem. Pernah dengar? Iya, memang yang paling banyak dikenal dari Brebes hanya telur asin dan bawang merah. Tapi seharusnya batik salem pun dilestarikan keberadaannya.

Salem adalah salah satu bagian dari daerah di Kabupaten Brebes yang letaknya sangat ujung dan agak jauh dengan Brebes kota, sehingga untuk mencapai kesana, selain pakai mobil, pasti capek. 

Saat ini pembuatan batik salem masih banyak menggunakan tangan, namun beberapa pengusaha batik sudah beralih secara industrial. Macam motif batiknya sendiri ada 20 macam. Diantaranya motif kopi pecah, manggar dan ukel dengan ciri khas warna hitam dan putih. Minggu depan Insha Allah saya akan ke Salem, nanti saya liput lebih dalam lagi tentang batik salam. Caw!

Minggu, 01 Juni 2014

Cerita Gunung Slamet

Cerita rakyat, asal-usul Gunung Slamet
Kawah Gunung Slamet. (Ist)
Sindonews.com - Gunung Slamet yang terletak di perbatasan Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes, Banyumas dan Purbalingga itu kembali menggeliat setelah lama tertidur sejak Mei 2009 lalu.

Kemarin, Gunung berketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini naik statusnya dari Normal menjadi Waspada. Warga di sekitar radius dua kilometer-pun diimbau untuk tidak melakukan aktivitas.

Bercerita tentang gunung, selalu ada mitos dan cerita rakyat yang berkembang. Tak ubahnya Gunung Slamet, gunung yang masuk di posisi kedua tertinggi di Indonesia setelah Gunung Semeru itu juga memiliki cerita sendiri.

Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat yang dihimpun Sindonews, Gunung Slamet pertama kali diberi nama oleh Syeh Maulana Maghribi, seorang penyebar agama Islam yang berasal dari negeri Rum-Turki. Di sana, dia merupakan seorang pangeran.

Suatu hari, setelah melaksanakan ibadah salat Subuh, Syeh Maulana melihat cahaya misterus yang menjulang tinggi di angkasa. Sang Pangeran itu merasa tertarik dan ingin mengetahui sumber cahaya misterius itu. 

Beliau-pun memutuskan untuk menyelidikinya sembari menyebarkan agama Islam dengan ditemani pengikutnya yang sangat setia, bernama Haji Datuk, serta ratusan pengawal kerajaan. Mereka berlayar menuju ke arah sumber cahaya misterius. 

Namun, ketika kapal yang ditumpanginya tiba di pantai Gresik, Jawa Timur, tiba-tiba cahaya tersebut muncul kembali  di sebelah barat. Dia pun memutuskan untuk ke arah barat hingga sampai di pantai Pemalang, Jawa Tengah.

Di pantai Pemalang, Syeh Maulana menyuruh hulu balangnya untuk pulang ke Turki. Sementara beliau melanjutkan perjalanannya dengan ditemani Haji Datuk dengan berjalan kaki ke arah selatan sambil menyebarkan agama Islam. 

Ketika cahaya tersebut melewati daerah Banjar, tiba-tiba beliau menderita sakit gatal di sekujur tubuhnya dan penyakit gatalnya itu pun sulit disembuhkan. 

Suatu malam, setelah menjalankan salat tahajjud, Syeh Maulana mendapat ilham jika beliau harus pergi ke Gunung Gora. Setibanya di lereng Gunung Gora, beliau meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya sendiri dan menunggu di suatu tempat yang mengeluarkan kepulan asap. Ternyata di situ ada sumber air panas yang mempunyai tujuh buah pancuran. Syeh Maulana memutuskan tinggal di sana untuk berobat dengan mandi secara teratur di sumber air panas yang memiliki tujuh buah mata air. 

Berkat kemanjuran air panas itu, akhirnya penyakit yang dideritanya sembuh total. Kemudian Syeh Maulana memberi nama tempat ini menjadi Pancuran Tujuh. 

Penduduk sekitar menyebut Syeh Maulana dengan nama Mbah Atas Angin karena datang dari negeri yang jauh. Kemudian Syeh Maulana Maghribi memberi gelar kepada Haji Datuk dengan sebutan Rusuludi yang dalam bahasa jawa berarti Batur Kang Adi (Abdi yang setia). 

Sementara desa itu kemudian dikenal dengan sebutan Baturadi yang lama kelamaan menjadi Baturaden yang dalam penulisannya menggunakan satu "R" yaitu: Baturaden. Karena Syeh Maulana mendapat kesembuhan penyakit gatal dan keselamatan di lereng Gunung Gora maka beliau mengganti nama menjadi Gunung Slamet.

SEJARAH INDRAMAYU


Sejarah Indramayu II
Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):
Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang berbudaya.
Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).
Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat.
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).
Akan halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional Cirebon dalam episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari Cina yang beragama Islam. Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus lamarannya, kemudian membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada rakyat untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas dengan berbagai cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh Bentong menikah dengan Putri Junti, selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.
Kronologis dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di mana-mana. Ada tema cinta ditolak, strategi menolak lamaran secara halus, dan waktu semalam sebagai syarat lamaran diterima. Pada legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian. Syarat cinta diterima itu adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.
Perspektif lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali daerah Junti. Tahun 1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang) bersama istrinya, Nhay Rara Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih besar dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).
Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Abad XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa, terhimpit antara dua bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja, seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).
Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan).
Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang nDermayu.
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nur Arofah, 2004).
Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.
Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.
Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).
Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).

Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.**